Konsumerisme

Posted: 29 Januari 2009 in esai, sosial dan budaya

Tiada hari tanpa belanja

Tiada hari tanpa belanja

Geray Hardy’s lewat sejenak dibuka, kerumunan pria wanita, muda tua berjejalan mengerubuti tiap petaknya. Kentara tapak-tapak Bucherry mengilat dan sandal jepit berhiaskan lumpur kering di kanan kiri, bergantian masuk di pintu pusat perbelanjaan itu. Serius mata mereka menatapi setiap jangkal etalase pakaian mode terbaru. Ini bahkan lebih-lebih dari ekspresi mereka saat khotbah Hari Minggu.

windowslivewriterprofessionalpracticesworstpracticesroiof-c23dthrow-money11Bagi Hardy’s, segenap fenomena ini berarti keuntungan di pelupuk mata, Matahari-pesaingnya ketir-ketir bibirnya. Bagi saya, ini serupa wabah konsumerisme. Bah! Kehadiran Hardy’s, Carrefour, Alfa, Sogo, Ramayana, hingga Indomaret di banyak kota besar di tanah air telah memantapkan langkah (sang sutradara) konsumerisme untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Sandal jepit dan Bucherry mengilat menjadi pertanda, tak lagi ada batas perilaku bagi si miskin dan si kaya. Sebabnya, masyarakat konsumen toh hanya mengenal dua kelompok manusia, konsumen yang berhasil dan konsumen yang gagal. Persis seperti sabda Zygmunt Bauman, konsumerisme telah menghilangkan status si miskin sebagai “sang proletar” sementara si kaya semakin memantapkan langkahnya. Dan, sanga sutradara konsumerisme semakin lebar tersenyum.

Sejenak benak ini terbayang, betapa Tumini bersemangat tuk keluar dari desa hanya sekadar membeli baju di kota. Sementara Maria memaksa untuk pergi keluar negeri demi mendapatkan parfum keluaran terbaru Bvlgari. Dan Ahmad, ia hanya mampu memanggau dagu di kepalan tangannya, apa yang bisa ia lakukan lagi. Kasihan.

quote-consumerismKonsumerisme bukan hanya gaya hidup. Pelan, ia menjadi zat aditif yang merasuk rusak tubuh. Kota sebagai ikon kemajuan wilayah, menyisakan celah bagi menjamurnya gerai-gerai pusat perbelanjaan. Sebuah simbol kemapanan konsumerisme. Demikianlah, perlahan kemakmuran diartikan mentah-mentah sebagai konsumsi tingkat tinggi. Dan, lantas Walter Rostow tersenyum dalam akhir persemayamannya.

Waktu berjalan, substansi kebutuhan terus meningkat. Kearifan lokal masyarakat yang menghargai alam dengan hidup tidak berlebihan, lamat-lamat tergilas oleh doktrin pendapatan domestik bruto. Itulah saat di mana kemakmuran diindikasikan dari semakin banyaknya barang yang diperjualbelikan.

Dua jalur menuju titik kemakmuran menggugah pikiran ini. Keinginan dapat dipuaskan dengan produksi melimpah, atau justru dengan menginginkan sedikit. Masyarakat konsumen telah menempuh jalur pertama. Manusia dipuaskan dengan terus menghasilkan ciptaan baru dan berakumulasi. Korelasi ini menjadi trilogi tak terpisahkan, berbanding lurus dan terjalin akrab antara industrialisasi, teknologi, dan konsumerisme.

Melesatnya pertumbuhan teknologi–dan tentu saja konsumerisme–lantas membawa konsekuensi logis yang menyesakkan berkelanjutan sumber daya alam di planet biru ini. Marshall Shalins sempat berujar, “Konsumsi sesungguhnya merupakan tragedi ganda: yang berawal dalam kekurangan akan berakhir dalam ketiadaan. Sebabnya, keinginan konsumsi manusia tidak mengenal batas sementara sumber daya yang tersedia di planet ini terbatas.”

Konsumerisme telah mengadiksi manusia menjuru pada pemenuhan keuntungan bagi minoritas kaum yang menjadi pemegang kendali atas bumi luas ini. Ia tak sekadar menjadi sebuah -isme. Bak agama baru, dengan belanja sebagai ritual ibadah, dan media massa menjadi kitab suci. Tak tertinggal, ikon-ikon selebritas menjadi tokoh agama yang didengar dan diamini. Wabah konsumerisme membawa manusia untuk semakin jauh dari alam sadarnya. Serupa dengan apa yang sempat dikemukakan Arendt, masyarakat konsumerisme telah medua dari entitas vita activita.

Lebih dari itu, konsumerisme pun berhasil memetakan kekuatan politis massa. Industrialisasi telah berhasil meningkatkan taraf ekonomi dunia. Kenaikan upah pun sampai di pihak buruh. Namun, segera mereka terbujuk dalam pesta belanja, bagian dari konsumsi massa tak berujung. Demikian, tak sejengkalpun berbeda dari apa yang diramalkan Paul Wagner. Kini, bahkan kuli bangunan pun tak sedikit bertelepongenggam ria. Saat kebutuhan tak lagi beras dan garam semata.

Belanja sampai mati

Belanja sampai mati

Dan, fenomena ini membawa kita semakin dekat pada akhir romantisme buruh tani sebagai kelas universal, yang memanggul imperatif historis pembebasan umat manusia dari penindasan. Kekuatan aktor revolusi telah teredusir oleh karnaval belanja yang merajuk manja. Akhirnya, di jalanan, saat seorang mahasiswa tengah meluap dalam orasi menuntut kenaikan upah pekerja, tampak Benetton di tangan kirinya. Sementara, dua buah Nokia berbunyi di atas Adidasnya. Marx mungkin tengah gundah dalam tidur panjangnya.

Konsumerisme menjadi jentik manuver bagi sang sutradara menuju elemen material agung. Ibarat perang merebut kemerdekaan di masa kemarin, sang sutradara konsumerisme adalah tentara dengan senjata AK-16, dan sayangnya, para aktor revolusi masa kini hanya memanggul selonjor bambu di bahu kiri.

Konsumerisme diciptakan dengan kompleksitas sistem yang melambarinya. Sampai-sampai, Horkheimer dan Adorno pesimis. “Rezim masyarakat konsumen yang telah sedemikian mapan seolah tak memberikan alternatif pada kita. Kalaupun masih ada kemungkinan berkata lain, alternatif itu berada di wilayah imajiner,” ujar mereka.

Namun, saya mencoba tuk mengamini apa yang terucap oleh para penjaga malam di sepanjang jalan. Sambil meyeduh bubuk teh dengan air panas, seorang dari sederet manusia itu berkata, “Tak ada yang abadi di dunia ini.” Konsumerisme, serupa dengan yang tak abadi itu.

Lagi saya teringat para pejuang kemerdekaan. Dengan hanya memanggul bambu di bahu kiri, bangsa ini telah enam puluh dua tahun merdeka. Ah, tak ada yang abadi rupanya.[]Agnes PB Ginting

Sumber: Majalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unej. Ecpose. Edisi 26, 2007. hal. 88

Tinggalkan komentar