Perang Sejarah di Yogya Belum Selesai

Posted: 6 Maret 2009 in sejarah

Oleh: Asvi Warman Adam dalam buku Seabad Kontroversi Sejarah

Kontroversi sejarah mengenai “Serangan Oemoem” 1 Maret 1949 semula diperkirakan akan dapat dijernihkan dengan mengungkapkan peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai konseptor peristiwa itu, sedangkan Letnan Kolonel Soeharto hanya sebagai pelaksana operasi di lapangan. Namun timbul pula kemudian versi lain yang mengalihkan pemeran utama dari Sultan Yogya kepada Kolonel Bambang Soegeng (atasan Soeharto di Jawa Tengah ketika itu) dan penasihat teritorialnya Letkol dr. W. Hutagalung. Tulisan Aco Manafe dalam Suara Pembaruan 1 Maret 2002 sejalan dengan alur yang terakhir ini. Dalam tulisan ini kami ingin mengetengahkan temuan terbaru mengenai peristiwa itu seperti penelitian yang dilakukan Prof. Dr. Suhartono (UGM) di Negeri Belanda.

Dari Soeharto kepada Sultan HB IX
Serangan selama 6 jam yang dilakukan pasukan Indonesia terhadap tentara Belanda di Yogyakarta yang lebih dikenal dengan sebutan “Serangan Oemoem” 1 Maret 1949 telah menjadi perdebatan sejak Soeharto berhenti menjadi Presiden. Semasa Orde Baru diajarkan bahwa konseptor penyerbuan itu adalah Letnan Kolonel Soeharto yang ketika itu menjadi Komandan Wehrkreise (wilayah pertahanan) III. Untuk itu, dua monument didirikan di Yogyakarta dan dua film (“Janur Kuning”, 1979 dan “Serangan Fajar”, 1981) dibuat untuk mengagungkan kepahlawanan Soeharto. Gugatan terhadap peran Soeharto mulai muncul tahun 1985, walaupun tidak disampaikan secara tegas.

Dalam wawancara dengan suratkabar Suara Merdeka, Semarang, 15 Oktober 1985, Soedarisman Purwokosoemo (Walikota Yogyakarta 1947-1966) mempertanyakan siapa sebetulnya penggagas serangan itu: Soeharto, Bambang Soegeng, Sudirman, Nasution atau Sri Sultan Hamengku Buwono IX? Namun keraguan itu segera dibantah oleh Soeharto: “Tanyakan saja kepada yang masih hidup (maksudnya Jenderal Nasution dan Sri Sultan HB IX). Apakah pernah memberi komando Serangan Oemoem 1 Maret 1949 atau tidak?”

HB IX tidak spontan bereaksi, maklumlah pers dalam negeri waktu itu sudah dalam keadaan dibungkam. Namun Sri Sultan memberikan keterangan kepada BBC London pada tahun 1986 (rekaman ini tersimpan baik pada Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta). Wawancara itu memperdengarkan dengan jelas tentang inisiatif yang diambil oleh Sri Sultan untuk merancang aksi tersebut dengan tujuan mempengaruhi pendapat Dewan Keamanan PBB yang akan bersidang bulan Maret 1949. HB IX mengirim surat kepada Jenderal Sudirman untuk meminta izin agar diadakan serangan umum pada siang hari. Usul ini disetujui Sudirman yang menyarankan Sri Sultan berhubungan langsung dengan Letnan Kolonel Soeharto. Lalu melalui kurir HB IX mengundang Soeharto ke Keraton Yogya 14 Februari 1949. Soehart sebelum menghadap Sultan, berganti pakaian yang biasa dikenakan abdi dalem keraton sehingga pertemuan itu dari satu sisi bisa dipandang sebagai pertemuan antara “kawula dengan Raja [gusti]”, walaupun Sri Sultan saat itu juga menjabat Menteri Negara Koordinator Keamanan. Dalam pertemuan itu disampaikan prakarsa Sultan untuk melakukan serangan umum yang disanggupi oleh Soeharto.

Pertemuan 14 Februari 1949 itulah yang dicoba dihapuskan dalam sejarah oleh Soeharto seperti terlihat dalam film “Janur Kuning” maupun Otobiografinya. Menurut Soeharto pertemuan itu terjadi setelah serangan umum dilakukan. Setelah Abdurrachman Wahid menjadi Presiden, Bondan Gunawan, Menteri Sekretaris Negara waktu itu sempat menyerahkan rekaman wawancara Sri Sultan dengan BBC itu ke kalangan Keraton Yogyakarta. Seminar demi seminar dilakukan setelah itu antara lain menampilkan kesaksian Marsoedi, yang menjadi perwira penghubung antara Soeharto dengan Sultan Yogya dan beberapa abdi dalem yang menyaksikan sendiri kedatangan Soeharto pada malam tanggal 14 Februari 1949 itu.

Bukan Prakarsa Sultan Melainkan Strategi TNI?
Buku-buku yang terbit setelah itu sesuai dengan alur di atas yakni menampilkan Sultan HB IX sebagai tokoh sentral serangan tersebut. Kontroversi Serangan Oemoem 1 Maret 1949 yang diterbitkan Lembaga Analisis Informasi Yogyakarta bertutur cukup lancar mengenai masalah ini. Hanya saja penulisnya yang anonim itu kurang berani menarik kesimpulan yang berarti. Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949 oleh tiga Sarjana Hukum dari Universitas Janabadra Yogyakarta menampilkan beberapa dokumen yang penting seperti transkrip wawancara BBC dan kesaksian beberapa abdi dalem keraton. Namun buku yang terakhir ini memiliki berabagai kelemahan, baik dari segi gaya bahasa, alur penulisan maupun keakuratan informasi.

Kejutan terjadi pada “Pedoman Bahan Ajar Sejarah Bagi Guru Sekolah” yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Oktober 1999 yang merupakan bagian dari “Kurikulum 1994: Suplemen GBPP Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial”. Dua belas penulis (tiga diantaranya bergelar profesor) yang menyusun pedoman setebal 20 halaman itu mengeluarkan pokok bahasan yang mirip gaya rezim Orde Baru ketika mengkompromikan siapa penggagas Pancasila (“Pancasila itu adalah hasil karya seluruh bangsa Indonesia sejak ribuan tahun bukan gagasan Sukarno seorang”).

Maka disebutkanlah dalam pedoman bagi guru itu bahwa “Sesungguhnya keberhasilan Serangan Oemoem 1 Maret 1949 merupakan hasil kerja sama dari seluruh pejuang Republik Indonesia (yang waktu itu disebut sebagai kaum Republiken).”

Mengalihkan perdebatan tentang konseptor serangan itu (antara Soeharto atau Sultan HB IX) kepada tokoh lain itulah yang tergambar dalam makalah Batara Hutagalung berjudul “Serangan Umum 1 Maret 1949: Satu Episode Dalam Perjuangan Bangsa Indonesia Mencapai Kemerdekaan” pada Konferensi Sejarah Nasional ke-7 di Jakarta akhir tahun 2001. Penulisnya adalah putra dari Letnan Kolonel dr. Wiliater Hutagalung yang pada saat itu menjadi perwira territorial Divisi III yang dipimpin oleh Kolonel Bambang Soegeng. Batara banyak mengutip naskah buku yang disusun bapaknya yang mengatakan bahwa dr. Hutagalung berada di tempat Jenderal Sudirman ketika datang surat dari Sri Sultan HB IX. Surat itu konon diserahkan oleh Sudirman kepada W. Hutagalung.

Kabarnya tanggal 18 Februari 1949 di lereng Gunung Sumbing diadakan rapat pimpinan militer-sipil daerah Jawa Tengah. Hadir Panglima Divisi III Kolonel Bambang Soegeng, Letkol dr. W. Hutagalung, Komandan Werhkreis II Letkol Sarbini Martodihardjo, gubernur sipil KRMT Wongsonegoro, beberapa residen dan bupati. Alangkah baiknya diwawancarai saksi-saksi sejarah itu yang masih hidup sehingga bisa dipastikan ada pertemuan pada tanggal tersebut. Dalam rapat itu Hutagalung menyampaikan gagasannya yang kemudian dibahas bersama-sama. Akhirnya diputuskan untuk melancarkan Serangan Oemoem secara serentak di wilayah Jawa Tengah, khususnya serangan spektakuler terhadap satu kota besar.

Kalau dilihat tanggalnya (18 Februari 1949), maka pertemuan tersebut bisa jadi merupakan follow up dari pertemuan antara Letkol Soeharto dengan Sri Sultan HB IX empat hari sebelumnya. Meskipun dalam pertemuan itu Soeharto sendiri tidak hadir, bukankah surat-menyurat antara Sri Sultan HB IX selaku Menteri Negara Koordinator Keamanan dengan Jenderal Sudirman dan Letkol Soeharto terus berlangsung melalui kurir atau penghubung.

Tulisan Aco Manafe yang menyimpulkan bahwa Bambang Soegeng yang memerintahkan Soeharto didasari Instruksi Rahasia 18 Februari 1949 yang berbunyi: “Berkenaan dengan Instruksi Rahasia yang diberikan kepada Commandant Daerah III (Letkol Soeharto) untuk mengadakan serangan besar-besaran terhadap Ibu Kota (Yogya) akan dilakukan antara tanggal 25/II/1949) sampai dengan 1/III/1949 dengan mempergunakan bantuan pasukan dari Brigade IX. Dengan ini diperintahkan kepada Komandant Daerah: Untuk 1, pada waktu bersamaan dengan tanggal di atas (25/II/1949) sampai dengan 1/III/1949 mengadakan serangan-serangan serentak terhadap salah satu objek musuh di daerah I, untuk mengikat perhatian musuh dan mencegah bala bantuan untuk Yogyakarta. Dikeluarkan di Tempat, tanggal 18-II-1949, Jam 20:00. Gubernur Militer III/Panglima Divisi III tertanda Kolonel Bambang Soegeng.”

Ada beberapa catatan tentang instruksi rahasia tersebut. Pertama, apakah dokumen yang berisi instruksi rahasia itu masih ada sampai sekarang? Kalau ada di mana? Kedua, arsip di atas sangat meragukan. Ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Meskipun ejaan lama telah disesuaikan, tetapi bahasa dan istilah yang dipakai pada masa itu bukanlah seperti tertulis di atas. Bandingkan dengan bahasa yang ada pada Perintah Siasat No. 1, 1949 yang merupakan perintah yang dikeluarkan oleh Kolonel Bambang Soegeng tertanggal 1 Januari 1949 pukul 17:00.

Dalam surat perintah itu disebutkan penyerangan adalah tanggal 17 Januari 1949. Tidak dicantumkan jamnya. Selain itu dikemukakan pula “Toedjoean jang dapat kita tjapai maksoed ini ialah antaranja menghalang-halang penerbangan mereka, dan djoega mengganggoe perdjalanan kreta api meraka. Consequentle dari jang kedoea ini ialah, bahwa kita haroes menghantjoerkan djalan kreta api mereka jang sekarang soedah dipergoenakan, goena angkoetan jang penting c.q. troepentransport dan djalan jang akan dilaloei oleh penindjau loear negeri.” Jadi istilah dan kalimat yang dipergunakan adalah bahasa yang dipakai pada masa revolusi fisik itu.

Dalam Perintah Siasat itu terlihat bahwa memang Kolonel Bambang Soegeng ingin menyerang pasukan Belanda untuk memperlihatkan bahwa tentara Indonesia masih ada. Tetapi Perintah Siasat No. 1, 1949 itu tidak berhubungan secara khusus/spesifik dengan Serangan Oemoem di Yogyakarta 1 Maret 1949.

Posisi Unik Sultan HB IX
Argumen Batara Hutagalung bahwa Sri Sultan tidak mempunyai jalur komando secara langsung kepada Soeharto sebetulnya bisa dibantah dengan hasil penelitian Prof. Dr. Suhartono dari UGM berjudul “HB IX: Menyelamatkan “Republik Yogya” yang juga disampaikan dalam konferensi sejarah yang sama.

Suhartono baru saja melakukan riset di Negeri Belanda dengan meneliti arsip NEFIS/CMI di Buitenlandse Zaken maupun di ARA dan koleksi pribadi Residen Yogya Stok dan telegram dari UNCI yang kemudian dibukukan oleh Alastair Taylor (Indonesian Independence and The United Nations, 1960). Dari arsip itu Suhartono mengambil kesimpulan bahwa sebetulnya HB IX itu memiliki peran pada empat level: a) Level Istana. Soeharto ketika datang menghadap ke keraton harus mengganti baju dulu dengan baju abdi dalem. Itu membuktikan bahwa dia sebagai rakyat sedang berhadapan dengan Raja; b) Level Regional. Sesudah proklamasi Sultan HB IX menjadi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta; c) Level Nasional. Peran HB IX makin kuat setelah Yogyakarta menjadi Ibu Kota RI sejak tanggal 4 Januari 1946. Sebagai “tuan rumah,” tentu Sultan bertugas melindungi “tamu” dari luar Yogyakarta; d) Level Internasional. Jabatan rangkap Sultan HB IX sebagai Menteri Negara Koordinator Keamanan merupakan jabatan setingkat dengan pejabat tinggi Belanda maupun UNCI. Sultan HB IX mewakili RI dalam berbagai perundingan selama PDRI setelah tanggal 19 November 1948 sampai pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949.

Dengan posisinya pada empat level, maka tidak mengherankan bila Sri Sultan mampu mendengar dan memahmi siaran radio berbahasa Inggris yang dipancarkan oleh berbagai siaran asing. Mampu menangkap informasi penting bahwa Dewan Keamanan PBB akan membicarakan masalah sengketa Indonesia-Belanda bulan Maret 1949. Mampu berkomunikasi dengan Jenderal Sudirman dan menyampaikan gagasannya tentang pentingnya Serangan Oemoem menjelang sidang PBB itu. Sultan juga mampu menggerakkan terjadinya serangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto selama beberapa jam di siang hari, meskipun teknisnya tentu diserahkan kepada perwira dan prajurit di lapangan. Posisi istimewa itulah yang menyebabkan HB IX bisa menggabungkan aksi di lapangan dengan kegiatan diplomasi di luar negeri.

Pada film Janur Kuning, misalnya, ditonjolkan kehebatan perjuangan bersenjata di lapangan ketimbang perundingan internasional. Yang perlu diajarkan kepada siswa adalah keberhasilan Serangan Oemoem 1 Maret 1949 adalah karena jasa Sultan memadukan perjuangan bersenjata di dalam negeri dengan keahlian berunding dengan pihak asing. Kita ketahui pada masa mendatang, kedua hal ini harus disintesakan, bila timpang akibatnya sangat berat: kita berhasil dalam kasus Irian Barat (1962) dan gagal di Timor Timur (1999).

Dalam peristiwa itu terlihat pula supremasi sipil terhadap militer dalam sejarah Indonesia. Tokoh sipil (HB IX) yang membuat perencanaan dan kebijakan, didukung dengan operasi di lapangan oleh petugas militer (Letkol Soeharto dan pasukannya, TB. Simatupang, penyiar AURI, dll) dan sipil (diplomat RI di India dan AS).

Tinggalkan komentar