Sekilas Kehidupan Rumi

Posted: 5 Desember 2011 in agama, sejarah, sosial dan budaya, Tokoh

Tak peduli kau t’lah ingkari sumpahmu

Seribu kali.

Tetaplah datang,

Dan sekali lagi, datanglah.

Rumi lahir di Balkh, sebuah kota kecil disebelah barat Mazar-i-Syarif, Afganistan, pada 30 September 1207. Melarikan diri dari serbuan tentang Jenghis Khan, keluarganya berpindah beberapa kali, ke Waksy, yang sekarang dikenal sebagai Tajikistan, ke Samarkand, ke Damaskus, dan akhirnya menetap di Konya, sebuah dataran tinggi di Anatolia Tengah. Ayah Rumi, Baha’ ad-Din, adalah mistikus yang sangat orisinil, yang senantiasa mencatat keintimannya dengan, dan dari, Ilahi, dalam bentuk buku harian. Ma’arif merupakan teks peninggalan bapaknya yang paling berharga bagi Rumi. Dia mempelajarinya bersama-sama seorang murid bapaknya, Burhan ad-Din Muhaqqiq. Mereka juga bersama-sama membaca Sana’I serta Attar, dan Burhan membimbing Rumi muda dalam beberapa chilla, puasa menyepi selama 40 hari. Burhan sendiri seorang eksentrik yang tidak peduli dengan bentuk-bentuk keyakinan dan nasab. Dia sepertinya telah menyiapkan Rumi dengan baik, demi peristiwa yang sangat berpengaruh dalam kehidupan sangat mistikus muda ini, yaitu pertemuannya dengan Syams-i Tabriz.

Pada akhir Oktober 1244, Rumi berusia 37 tahun. Syams berusia 20 atau 30 tahun lebih tua. Pertemuan dan kemudian sepenggal sohbet (percakapan mistik) antara mereka membangkitkan cerita-cerita segar dan ikon-ikon ekstatik bagi dunia kesadaran mistik dan cinta. Persahabatan mereka adalah salah satu misteri terbesar. Puisi Rumi terdengar sebagai resonansi yang berkelanjutan dari peristiwa itu. Perpisahan mereka dalam dunia fisik terjadi 4 tahun kemudian pada 5 Desember 1248.

Setelah kematian, atau menghilangnya Syams, Rumi hidup 26 tahun lagi dengan menata perkembangan jiwa di dalam komunitas darwis disekitarnya dan meninggalkan warisan yang luar biasa pada kita. Dia mengucapkan sajaknya secara spontan. Sajak-sajaknya itu kemudian ditulis para pencatat, lalu direvisinya dalam bentuk manuskrip. Rumi menikah dua kali; istri pertamanya, Jawhar Khatun, meninggal dalam usia muda. Dia melahirkan dua putra; Sultan Walad dan ‘Ala’ ad-Din. Rumi juga memiliki dua anak dari istri keduanya, Kira Kathun; Muzaffir, seorang laki-laki dan Maleke, perempuan.

Pusat teka-teki dari kehidupan Rumi, tentu saja adalah Syams-i Tabriz, pengembara yang menggugah rasa ingin tahu, eksentrik dengan kharisma angin gurun, yang bersimpuh dan berdoa memohon diberi seorang karib yang bertaraf pencapaian seperti dirinya. Sebuah suara muncul: “Apa yang akan kamu beri?” “Kepalaku” “Jalal ad-Din dari Konya adalah sahabatmu.” Belakangan, dia berujar bahwa dia datang kepada Rumi saat Rumi telah siap menerima rahasianya. Tetapi, mengenai hubungan Rumi-Syams ini, kita tidak akan bisa mengungkap siapakah yang merupakan guru dan siapakah yang murid.

Thoreau menyepi ke dalam hutan untuk menyederhanakan dan menemukan apa yang secara sangat mendalam adalah miliknya. “Aku tidak ingin menjalani yang bukan merupakan kehidupan. Hidup begitu berharga.” Beberapa cobaan membebaskan jiwa dari kebiasaan-kebiasaan komunal dan personal, situasi yang melingkupi kita semenjak lahir. Saat Syams membuang buku-buku Rumi ke dalam air mancur pada pertemuan pertama mereka, termasuk catatan-catatan gerak-jiwa bapaknya, dia berujar, “Sekarang kamu harus menghidupkan apa yang telah kamu baca dan bicarakan.”

Rumi merelakan buku-bukunya, kemudian dia dan Syams pergi menyepi. Rumi meminta agar dibakar. Syams berkata, akulah api. Itulah hal yang meningkatkan sajak-sajak tersebut kepada intensitas dan keberanian yang luar biasa, kepada pengembaraan mereka ke wilayah-wilayah yang tak terpahami, kuadran-kuadran hati yang begitu lembut dan multivalen.

Mengapa aku mesti mencari lagi?

Aku dan dia sama adanya.

Simpati dirinya berucap melalui diriku.

Ternyata selama ini aku mencari diriku sendiri.

Setelah persatuan-jiwa dengan Syams ini, Rumi menemukan teman hidup lainnya tempat berbagi kerja-membuka hati. Salah ad-Din Zarrkub, sang pandai emas. Salah ad-Din adalah seorang tua (sajak-sajak Rumi menjadi lebih tenang dan lembut), dan setelah kematian Salah ad-Din, Husam ad-Din Chalabi, juru tulis Rumi, menjadi sahabat karibnya. Mereka menghasilkan 6 buku Masnawi.

Rumi meninggal pada suatu sore hari saat langit berubah warna menjadi merah tembaga, 17 Desember 1273. Sejenak sebelum meninggal, terjadi gempa kecil, dibarengi dengan suara seperti perut lapar. “Bersabarlah, Bumi yang bangka!” teriak Rumi, “Sebentar lagi akan kaudapat manisanmu!”

Tinggalkan komentar