Dwifungsi Sipil

Posted: 5 September 2012 in politik, sosial dan budaya
Tag:,

Lebih dari satu dekade, dwifungsi ABRI telah menghilang di Republik ini. Namun, sosoknya masih berlaku di negeri ini. Hilangnya tidak berarti melenyapkan jejaknya. Jejak-jejak tersebut menjelma menjadi Dwifungsi Sipil, yang tanpa diduga-duga menjadi marak di mana-mana, hampir di seluruh negeri ini.

Untuk memahami sosok dwifungsi sipil kita perlu menengok kembali sosok induknya, Dwifungsi ABRI.

Dwifungsi ABRI

Kalau ada tentara membawa senjata dan menembak, itu tidak aneh. Bahkan ada dimana-mana. Tentara membunuh dan terbunuh dalam perang, juga bisa terjadi dimana-mana. Tapi perwira militer menjadi kepala negara? Tidak banyak di dunia. Perwira militer menguasai parlemen, dan menjadi sebagian besar para kepala daerah di sebuah negara luas? Lebih sedikit lagi. Dari yang sedikit ini, Indonesia termasuk di dalamnya.

Berbeda dengan kawasan dunia lain yang dipimpin militer, masih ada rasa kikuk. Mereka tampil dengan rasa malu, karena menempati jabatan yang bukan semestinya. Hampir semua rezim militer menjelaskan bahwa kedudukan mereka bersifat darurat sementara. Biasanya, mereka mengumbar janji bahwa kekuasaan itu akan dikembalikan kepada pihak sipil bila situasi gawat darurat sudah mereda.

Mungkin hanya di Indonesia, rasa malu dan kikuk itu tidak ada. Mungkin hanya di Indonesia ada pemerintahan militer yang tidak merasa kedudukan mereka bersifat darurat sementara. Tidak ada janji segombal apapun bahwa suatu hari kelak, militer akan mundur secara sukarela dari politik dan menyerahkan pengelolaan negara kepada rakyat sipil.

Semua “kelainan” perilaku militer itu diabsahkan dalam sebuah rumusan yang diberi nama “Dwifungsi ABRI”. Menurut ideologi ini, ABRI berbeda dari militer, lain karena sejarah dan perannya. Menurut propaganda gagasan ini, ABRI tumbuh dan menyatu dengan rakyat sipil. Maka serdadu tidak perlu dikurung di barak. Perannya tidak hanya mengurus ancaman pertahanan dari luar negeri, atau perang melindungi negara-bangsa. Dengan kata lain, disamping punya fungsi kemiliteran ABRI punya fungsi lain-lain: mengurus negara dan seluruh kehidupan sosial, budaya, politik, sampai-sampai soal kodrat dan peran ibu dalam keluarga, atau acara pembacaan puisi dan penciptaan lagu.

Dengan alasan itu, tentara masuk bank dan menjadi direktur. Para perwira tinggi asyik mengurus bisnis. Di dunia olahraga, serdadu menjadi pimpinan organisasi. Tentara masuk-keluar kampus, dan mengatur kehidupan kampus supaya “normal”. Militer bertebaran tidak hanya masuk istana, tapi juga parlemen, pengadilan, dan dalam sengketa industri.

Tidak aneh, seperti kata sarjana Marcus Mietzner, para serdadu kita sebenarnya kurang berminat pada perang dan soal-soal kemiliteran. Selama zaman keemasan dwifungsi ABRI, mereka tidak pernah perang melawan tentara asing. Persenjataan dan kemampuan tempur tidak pernah terbina, maka juga tidak bisa dibanggakan. Mereka lebih sibuk mempertahankan “stabilitas dan keamanan” sosial-politik-ekonomi yang memberikan kehormatan dan juga kemakmuran material kepada keluarga dan anak cucu. Untuk itu ancaman paling serius yang dihadapi bersumber dalam negeri: rakyat Indonesia yang menolak militerisme, buruh yang menuntut hak-haknya, atau petani yang menolak penggusuran tanah.

Biarpun belum tuntas, semua itu sudah mulai berubah sejak runtuhnya Orde Baru. Biar belum semua, para perwira militer kita mulai belajar menjadi profesional dalam kemiliteran. Maka tiba-tiba saja, anggaran pertahanan terasa perlu ditingkatkan. Yang tidak kalah penting, mereka juga mulai belajar menghargai hukum, hak asasi, dan kedaulatan rakyat sipil. Ironisnya, militerisme di masa Orde Baru juga telah menjadi ajang pengembangbiakan “dwifungsi sipil”.

Dwifungsi Sipil

Orang-orang sipil dididik berjalan, berpakaian, berbicara, berpikir, berperilaku seperti anggota pasukan tempur di medan perang. Gejala sok militer ini bahkan terjadi di sebagian kalangan masyarakat sipil yang mengaku memperjuangkan demokrasi, pernah menjadi bulan-bulanan tentara, dan meneriakkan yel-yel anti-militerisme.

Gejala ini sebagian bersumber dari kebijakan militer untuk memelihara “pasukan swasta”. Kebijakan ini punya sejarah panjang melampaui zaman kolonial. Sejak masa itu mereka sudah dikenal dengan istilah “preman”.

Tapi itu bukan satu-satunya sumber. Orang-orang sipil yang tidak berdaya menghadapi penindasan sehari-hari di jalan raya, di tempat kerja, di pasar, atau di birokrasi, mulai belajar bertahan dan melawan dengan menggunakan cara-cara yang militeristik.

Di sejumlah provinsi massa menyerbu kantor kejaksaan, pengadilan, membakar rumah dinas, pembakaran pondok pesantren di Sampang Madura, bahkan paling akhir penembakan polisi di Solo. Di Ibukota, sidang parlemen yang nyaris menjadi arena baku hantam sempat menjadi berita, tapi tidak berbobot kejutan. Semua tidak terjadi tiba-tiba, dan bukan kelainan individual atau musiman.

Dulu tidak aneh jika ada jenderal yang sibuk berdagang. Sekarang tidak aneh jika ada pedagang masuk hotel dengan membawa pistol, dan menembakkan pistol itu ke kepala seorang pekerja di bar gara-gara rekening pembayaran minuman. Artis menembakkan pistol ke udara hanya karena dikerubungi oleh wartawan. Juga ada warga membawa pistol sewaktu mengikuti kebaktian Paskah.

Militerisme ala dwifungsi ABRI sudah ramai dicaci-maki dan ditolak. Hasilnya lumayan. Dan yang paling serius mendapat perhatian adalah dwifungsi sipil???

Sumber: Klip

Tinggalkan komentar